Oleh Putu Laxman Pendit*
JAKARTA, KOMPAS.com - Walau terdengar samar di tengah hiruk pikuk isu lainnya, protes Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan & Ilmu Informasi (ISIPII) ke Gubernur Joko Widodo dalam kasus pemindahan Wali Kota menjadi Kepala Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah sempat mengusik perhatian masyarakat. Selain mengusik, protes ini juga antara lain mengundang reaksi berupa tanggapan dan kecaman ke pihak yang memprotes.
Sebagian reaksi bersifat emosional dan mengandung praduga, sementara sebagian lagi mencoba ikut mengurai persoalan. Sebagian besar reaksi berupaya membenarkan tindakan Gubernur Jokowi, sebagian besar lainnya bahkan terkesan mencibir bahwa isu perpustakaan ini tak cukup bernilai untuk dipersoalkan. Terlepas dari itu, sebenarnya ada beberapa hal penting yang dapat kita diskusikan. Mari kita coba pahami beberapa di antaranya yang terangkat ke media massa maupun media sosial berikut ini.
Apakah Ini Serangan ke Figur Jokowi?
Segala yang terkait Jokowi akan dilahap media massa dan masyarakat; kritik terhadapnya akan dengan cepat menimbulkan kecurigaan bahwa ada upaya menyerang figur yang amat popular itu. Meski dapat dimaklumi, kecurigaan ini tentunya berlebihan.
Jokowi bermaksud menugaskan seseorang tanpa keahlian dan pengalaman mengelola perpustakaan untuk memimpin Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah (BPAD). Bagi pihak-pihak yang selama ini mengamati perkembangan perpustakaan di Indonesia, tindakan ini tak berbeda dari para pemimpin daerah pada umumnya. Mereka seringkali terkesan tak terlalu berpikir panjang, apalagi mempertimbangkan kompetensi ketika menempatkan seseorang untuk mengelola institusi perpustakaan.
Di negeri ini, kejadian serupa muncul berulang-ulang dilakukan oleh berbagai pemimpin di berbagai lapisan, mulai dari Kepala Sekolah sampai Rektor, mulai dari Lurah sampai Gubernur. Polanya serupa, yang ditempatkan adalah sembarang orang atau bahkan orang yang tidak disukai karena satu dan lain hal. Sulit menampik kesan bahwa para pemimpin dan pengambil keputusan itu tak terlalu peduli pada pengembangan perpustakaan, khususnya dalam hal manajemen dan sumberdaya manusianya.
Padahal di saat yang sama mereka mengakui (walau juga ada yang sekadar lips service) bahwa perpustakaan adalah institusi penting. Bahkan, Pemerintah DKI sendiri terkesan cukup serius, menyiapkan tak kurang dari Rp 98 milyar untuk BPAD (sumber). Tentunya ada harapan kepada Gubernur Jokowi agar dana itu dikelola secara profesional, sekaligus ada kekecewaan ketika dia terkesan mengabaikan pertimbangan profesionalisme sewaktu memindahkan seorang Wali Kota untuk memimpin BPAD. Bahkan si Wali Kota sendiri terkesan heran dan enggan!
Di satu sisi, kekecewaan ini jelas bukan terhadap kinerja Jokowi apalagi terhadap pribadinya. Justru ini dapat diartikan sebagai harapan yang sangat besar agar dia meninjau kembali keputusannya dan menempatkan orang yang lebih tepat, yakni seorang Pustakawan. Dalam konteks inilah kita dapat menduga bahwa ISIPII mengajukan protes sebagai organisasi yang tahu persis bahwa sejak 60 tahun silam negeri ini sudah memiliki jurusan ilmu perpustakaan, dan kini sudah ada lebih dari selusin Perguruan Tinggi yang memiliki Jurusan Ilmu Perpustakaan dan sudah meluluskan ribuan Pustakawan berkualifikasi S1 maupun S2.
Di sisi lain, adalah terlalu naif juga jika protes ISIPII ini dianggap tak akan menimbulkan peluang bagi lawan politik. Segera setelah protes dilayangkan, gayung pun bersambut. Setidaknya seorang anggota DPR dari partai lain ikut mengatakan bahwa Jokowi melanggar Undang-Undang. Apakah ada pelanggaran hukum?
Sinyalemen melanggar Undang-Undang tentu akan terdengar keras jika datang dari seorang politikus dan segera mengundang respon yang tak kalah keras. Pokok persoalan pun dialihkan ke pemaknaan tentang kata "badan" dan "perpustakaan". Pihak yang pro-ISIPII menganggap Gubernur Jokowi tak menjalankan amanat UU no. 43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, khususnya tentang keharusan institusi ini dipimpin oleh seorang Pustakawan. Sementara pihak yang pro-Gubernur bersikeras bahwa BPAD bukanlah perpustakaan sehingga Gubernur Jokowi semata menjalankan hak prerogatifnya sebagai Kepala Daerah.
Pandangan pro Gubernur ini dapat dibaca antara lain di rubrik hukum Kompasiana. Argumentasi pokoknya adalah "Kepala Perpustakaan dan Kepala BPAD adalah dua institusi yang berbeda, yang diatur oleh undang-undang dan/atau peraturan yang berbeda". Jadi, upaya Gubernur Jokowi memindahkan Wali Kota ke Kepala BPAD tidak melanggar UU no. 43 tahun 2007.
Walau mungkin tepat dalam konteks penegakan hukum formal, argumentasi di atas tak menjernihkan persoalan, dan malah menimbulkan persoalan baru. Setidaknya, sekarang muncul pertanyaan, jika memang BPAD adalah bagian dari "lembaga teknis… sebagai bagian Perangkat Daerah", apakah sebenarnya yang institusi ini kerjakan sehari-hari?
Pertanyaan ini relevan, sebab kata "perpustakaan" dan "arsip" yang ada di dalam singkatan BPAD itu merujuk ke sebuah institusi dengan fungsi-fungsi layanan publik yang pada hakikatnya adalah lembaga Pemerintah. Kata "perpustakaan" di situ lebih jelasnya adalah "perpustakaan umum" (public library) - sebuah institusi yang mustahil bukan "perangkat pemerintah". Tak ada satu pun negeri di dunia ini memiliki perpustakaan umum yang non-pemerintah. Secara hakiki, perpustakaan umum ialah perangkat pemerintah. Demikian pula "arsip" yang dimaksud, pastilah adalah arsip pemerintah dalam rangka transparansi dan tata kelola pemerintahan yang baik, terutama jika dikaitkan dengan UU No: 14 Thn 2008, Keterbukaan Informasi Publik.
Singkat kata, BPAD ialah institusi perpustakaan umum dan arsip di tingkat daerah. Sebagai institusi perpustakaan dan arsip, seharusnya BPAD dipimpin oleh seorang Pustakawan atau Arsiparis profesional, sebagaimana telah diamanatkan undang-undangnya. Apakah tak ada pegawai di DKI Jakarta yang cukup berkapasitas untuk ini? Apakah Gubernur serius dalam mengembangkan perpustakaan?
Para pemimpin pemerintahan sering "berlindung" di balik karut marut kepegawaian ketika terlihat terpaksa memilih seorang pejabat yang kurang tepat untuk sebuah jabatan tertentu. Kesan sama juga kentara pada langkah Jokowi dalam kasus BPAD. Dia terlihat tak punya pilihan karena untuk memimpin BPAD diperlukan seseorang dengan kepangkatan atau eselon tertentu. Jika alasannya adalah ketiadaan Pustakawan dengan pangkat setinggi itu, maka hal ini hanya bukti bahwa birokrasi DKI tidak punya proses rekrutmen PNS yang memadai dan menjadi cermin dari hambatan terbesar dalam reformasi birokrasi.
Dalam konteks yang amat luas ini, rekrutmen Pustakawan PNS mungkin terlihat seperti debu di padang pasir. Namun, melihat sejarah perkembangan perpustakaan umum di negeri ini, sulit pula kita menghindari kesan bahwa selain kurang serius membangun sarana. Pemerintah juga selalu mengabaikan pengembangan profesi Pustakawan. Tindakan Jokowi merupakan puncak gunung es dari persoalan rekrutmen birokrat. Untuk kembali ke kasus BPAD, tindakannya itu sekaligus membuktikan bahwa Pemerintah DKI pada khususnya, dan Pemerintah Indonesia pada umumnya, tak serius mengembangkan sistem perpustakaan umum sebagai layanan publik yang vital.
Dari sudut pandang inilah, sebenarnya Jokowi memiliki peluang untuk melakukan gebrakan. Tidaklah cukup bagi masyarakat jika dia hanya blusukan, dan sangatlah diharapkan agar dia secara kongkrit melakukan perubahan. Ini dapat dimulai di bidang Perpustakaan yang seharusnya memiliki resiko menimbulkan "kegaduhan politik kantor" lebih kecil, tetapi justru berpotensi menaikkan citranya sebagai gubernur yang pro reformasi dan pro layanan publik.
Peluang Reformasi Perpustakaan Umum DKI Jakarta
Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kontroversi dalam kasus BPAD yang diangkat oleh sebuah ikatan sarjana gurem semacam ISIPII sebenarnya menyimpan sebuah hasrat besar yang dipercaya sebagai aspirasi masyarakat tentang perpustakaan umum yang memadai. Sudah lama rakyat DKI Jakarta menunggu sebuah Perpustakaan Umum Daerah yang menarik, nyaman, dan ramah dalam layanan publiknya.
Untuk sebuah kota metropolitan sekelas Jakarta, tidak berlebihan kalau kita merasa jengah mendapati kenyataan bahwa kota ini cuma dipenuhi pusat perbelanjaan dan sarana hiburan megah dan mahal, tetapi tak punya Perpustakaan Umum memadai. Setelah sempat tersandung kasus Perpustakaan HB Jassin beberapa waktu yang lalu, seharusnya Pemerintah DKI belajar banyak tentang pengelolaan perpustakaan umum. Tidaklah cukup hanya menggelontorkan dana tanpa menata ulang manajemen dan menempatkan orang-orang profesional di bidang perpustakaan, khususnya di perpustakaan-perpustakaan umum.
Tidak ada salahnya jika BPAD Jakarta sungguh-sungguh dikembangkan dan dikelola sebagai Perpustakaan Umum Metropolitan dengan cabang-cabang di seluruh wilayah dan ranting-ranting di seluruh kecamatan. Pemerintah DKI dapat belajar (tanpa harus "studi banding" segala!) dari kota-kota metropolitan tetangga, seperti Singapura, Kuala Lumpur, atau Bangkok dan lain sebagainya.
Terobosan-terobosan seperti lelang jabatan patut dipertimbangkan, dan yang jauh lebih mendasar lagi adalah keberanian Jokowi untuk menggunakan hak prerogatif demi kepentingan masyarakat umum, dan bukan semata-mata untuk memenuhi persyaratan Peraturan Pemerintah atau perundang-undangan.
Jika dia mendengar kritik dan mau menimbang ulang keputusannya, Jokowi akan dikenang sebagai reformis sejati di bidang perpustakaan dan menjadi contoh bagi pemimpin-pemimpin pemerintahan lainnya ketika mereka harus mengambil keputusan dalam pengembangan perpustakaan di Indonesia.
*) Anggota Dewan Pembina Ikatan Sarjana Ilmu Perpustakaan & Informasi.
Sumber: Kompasiana.com