JAKARTA, KOMPAS.com - Pergeseran lahan garapan pengembang ke beberapa kota di
luar Pulau Jawa, memunculkan harapan bahwa pemerataan pembangunan properti sudah dimulai.
Meski kota-kota seperti Medan, Batam, Balikpapan, Makassar, Palembang dan Manado tengah jadi bidikan, namun perlu dipertimbangkan peluang pasar terbesar dan paling menjanjikan. Menurut Head Capital Market and Investment Knight Frank, Fakky Ismail Hidayat, tidak semua sektor properti bisa dikembangkan di daerah untuk saat ini.
"Sektor properti yang paling memungkinkan dan memiliki ceruk pasar gemuk adalah hunian kelas menengah, terutama landed house, dan hotel ekonomi serta kelas bintang 3. Sementara untuk apartemen, dan pusat belanja sangat besar peluangnya dikembangkan di kota-kota dengan lalu lintas bisnis padat, banyak ekspatriat dan menjadi hub untuk kawasan regional sekitarnya," jelas Fakky kepada Kompas.com, di Jakarta, Senin (26/8/2013).
Rumah tapak kelas menengah masih menjadi primadona pasar di daerah. Proyek CitraLand Bagya City Medan, yang dibangun PT Ciputra Development Tbk (CTRA), misalnya, terserap pasar dengan angka penjualan sesuai ekspektasi. Kontribusi penjualannya merupakan tertinggi di antara proyek CTRA lainnya dengan angka sebesar Rp 952 miliar selama enam bulan pertama 2013.
Menurut Direktur CTRA, Tulus Santoso, harga rumah yang dibanderol sekitar Rp 530 juta hingga Rp 2 miliar per unit. Harga jual ini paling affordable untuk pasar Medan. Lagipula rumah merupakan kebutuhan mendasar dan akan terus dicari oleh pembeli," ungkap Tulus.
Sementara apartemen, mulai diterima pasar di kota tertentu ketika kondisi aktualnya memicu gaya hidup urban tipikal. Gaya hidup tersebut antara lain praktis, efisien, bersinergi dengan fasilitas penunjang yang tercipta dari interaksi sosial dan bisnis para pelaku usaha yang bertemu di kota tersebut.
"Jadi, bila gaya hidup tersebut belum terbangun, maka jangan mimpi membangun apartemen yang dapat terserap pasar dengan cepat. Keterbatasan dan harga lahan yang tinggi serta regulasi ketat ikut juga berkontribusi terhadap penciptaan gaya hidup dan kebutuhan tinggal di apartemen," jelas Fakky.
Sektor lain yang berpotensi mendatangkan keuntungan adalah perhotelan kelas ekonomi dan bintang 3. Ekspansi bisnis yang dilakukan perusahaan di berbagai daerah ikut memobilisasi pergerakan karyawan dan kalangan manajemen (middle level manager). Mereka merupakan pasar pasti dengan jumlah yang terus bertambah.
Meski tidak ada angka pasti, menurut Fakky, fenomena pertumbuhan kalangan yang melakukan perjalanan bisnis seperti ini meningkat dari tahun ke tahun. Terbukti dengan maraknya maskapai rendah bujet (low cost carrier) serta pembangunan hotel murah.
Accor Group saja sampai merencanakan mengelola hingga separuh atau 50 persen dari total target 100 hotel hingga 2015 mendatang.
Mengapa hotel murah? Karena selama 2012 hingga kuartal kuartal II 2013, menurut Jones Lang LaSalle, tingkat huniannya selalu di atas 70 persen. Dengan tarif sekitar Rp 300.000 hingga Rp 500.000, pemilik hotel akan mendapat keuntungan hanya pada tingkat hunian 60 persen. Lebih dari itu, pundi bakal semakin membengkak.
Direktur PT Ciputra Property Tbk Artadinata Djangkar, mengungkapkan, pihaknya menganggarkan dana hanya sekitar Rp 40 miliar-Rp 50 miliar untuk mengembangkan satu hotel ekonomis. Lokasinya berada di pusat kota, strategis dan memiliki aksesibilitas memadai. Dengan tarif per malam Rp 350.000-Rp 450.000, Arta mengasumsikan dapat mencapai pengembalian modal (payback periode) dalam waktu 6 hingga 8 tahun ke depan.
Sementara sektor perkantoran, masih belum akan berkembang di daerah. Ini disebabkan oleh karakter bisnis dan kebiasaan pengusaha setempat yang lebih memilih berkantor di ruko/rukan ketimbang di sebuah gedung dengan ketinggian menjulang.
"Selain itu, regulasi yang melarang perusahaan besar berkantor di rumah, belum ada. Tidak seperti Jakarta," imbuh Fakky.