Kau dan Aku
Pada mulanya kita diam, tak saling kenal.
Lalu ada cakap, mengalir menjalin cerita, lalu berpisah.
Bukan berakhir, tapi menyiapkan sesuatu
Pernah Aku
Aku pernah mencintaimu, mencintaimu dengan banyak hal yang tak pernah aku mengerti. Penyairku bilang, cintaku padamu sebenarnya hanyalah cinta yang sederhana, yang diibaratkannya dengan kata, ya sesederhana kata yang tak sempat disampaikan kayu kepada api yang menjadikannya abu. Namun, sayangku, saat itu aku, mungkin juga kini dan nanti, tak berani bermain api, sesederhana apapun hangat dan terangnya. Aku lebih memilih mencintaimu tidak dengan sederhana. Dengan halhal yang lagi aku tak pahami, yang kucaricari pada naskah tak bertirah, juga pada kertaskertas puisi penyiar tua. Gerangan apa yang mampu menggambarkan itu? Wajah yang mendadak menyungai, juga dada yang seketika bertabuh, dan sukma yang mengalir hangat di tegalan jiwaku, tak pernah utarakan maksudnya. tapi aku pernah mencintaimu, dengan kata yang tak pernah diutarakan bahasa. Dan mencintai tidak sederhana, Itu sebabnya Aku terkadang ragu mencintaimu?
Dari pernahnya aku mencintaimu, pernah aku menjadikanmu mata air puisi. Kupilahpilah kata dari banyaknya kamus sediakan makna. Berjuta lema kujelajahi, agar tercipta kata, tersusun frasa, melahirkan kita, Kuingin ada sebuah puisi, yang singkat saja, yang kau dan aku, juga Tuhan bisa membacanya. Dalam puisi itu, tak ingin aku menutupi rasa, dan munculah tanya: kepada siapa puisi itu ditujukan. Maka kata "kamu" menjadi pilihan. Kerna tak ingin aku mengibaratkanmu pada lain, sungguh merepotkan itu nanti. Puisi ini hanya sekali dan tak akan pernah tercipta lagi dengan banyaknya perumpamaan. Kupilih kata "kamu" dalam jenjang puisiku. Dengan tegas serta lugas berpikir waras, kuciptakan puisi memang untukmu. Dan tentulah ini perkara kita, perkara cinta. Soalsoal yang menggerakkan jiwa tanpa paksa, bekerja tak kenal senja, melangkah tanpa lelah. Ya, kerja adalah aktivasiku pada masa lalu, dan harapan masa depan. Cinta adalah perkara mencintai. Maka kupilih "mencintai" sebagai langkahku menuju pusaramu. maka pernah kucipta puisi untukmu yang singkat, pada hampar kertas kutulis: "mencintai itu kamu". Semoga Tuhan mengerti. Dan sewaktuwaktu aku atau kau pergi, aku hanya mengenal cinta sebatas kamu.
Belum Waktu
Mungkin sebab itu, kau memilih pergi. Menepi pada ujung paling sepi sebuah negeri. Tak ada hujan, tak ada harapan, apalagi kerinduan. Lantaran hidup ini hutan belantara yang rimbarimbun. Kaulepaskan talitali yang lama terhubung pada banyak perasaan. Hanya karena seringkali kau takut kembali, dan harihari seperti huruhara bising kota. Andaikata langit tak bertuhan, mungkin sudah kau sekap kehadirannya. Seolah resonansi yang merambat hatimu membawa jatuhripuh. Namun, tentu saja langit berawan itu akan menangis, menangis sepuasnya melihat kita tak berkata.
Seharusnya memang tak perlu menjadi kita. Saat kita belum siap menerima cuaca tak terduga. Bulan atau bahkan tahun bergulir pun seakan percuma. Kegamangan menjaga cinta adalah hampa. Ketika menyadari seluruh reaksinya menggasak sukma. Seperti kebanyakan pemabuk, kita pun akan mabuk pada yang tak nyata. Tak mengerti seakan syahdunya melihat pohonpohon meranggas. Betapa kau dan aku menari merapatkan jemari. Juga wajah menyungai sendiri, mendengar langkah dedaun yang bernyanyi. Seakan kau tubuhku dan kau rohku. Lagu singkat dari hempas angin bersimpuh rebah pada merahtanah. Semua seakan dimengerti tanpa berlamalama.
Tak seharusnya, sungguhpeluh pernah terbangun tubuh bernama kita. Bahkan ketika, hujan didahului pelangi. Lembahlembah randahpindah ke gunung. bergeming adalah harusnya, yang ringkuk dari liukmu. Dan dasarnya kita masih lemah, tak sanggup melepas ketas tunas melati seakarpun.
Dan sebab itu, kau melarangku. Menyebut namamu pada diamku. Sebab diam adalah keabadian tak bernama. Dalam kamar sepi kita kikuk, takluk pada sembilu masa lalu.
Pada pilihan lepas, kau pergi, aku menepi, kita sepi. Selanjutnya, Aku memilih mencintaimu dalam diam. Sebab suaramu begitu merdu nan syahdu. Tak patut aku mengganggu. Pada sapuan angin ingin, aku memilihmu dalam diam. Sebab belai tubuhmu begitu malu. Belum waktu aku memelukmu
Mungkin diam, sebab itu, kita berhenti. Kau dan aku dimiliki kita yang lain. Terkecuali Tuhan membebas waktu.
Kepada Kamu
Aku memilih luka
Sebelum banyak cerita,
Namun, akhirnya tak bersama
------
Adi Nugroho saat ini sedang bercinta dengan hujan. Bergumul di komunitas Langit Sastra. Juga pendiri sekaligus Dewan Syuro pecinta alam AADT. Buku pertamanya berupa kumpulan esai Belajar Merawat Indonesia. Boleh bersapa di @ijonkmuhammad dan ijonkmuhammad.tumblr.com
Anda sedang membaca artikel tentang
Puisi-puisi Adi Nugroho
Dengan url
http://efficacycupofcoffee.blogspot.com/2013/03/puisi-puisi-adi-nugroho.html
Anda boleh menyebar luaskannya atau mengcopy paste-nya
Puisi-puisi Adi Nugroho
namun jangan lupa untuk meletakkan link
sebagai sumbernya
0 komentar:
Posting Komentar